mengenang Mas Pram
PADA
perayaan ulang tahunnya yang
ke-81 di tahun 2006, Pramoedya
Ananta Toer mengajukan sebuah pertanyaan
yang cukup menarik:
mengapa pemuda yang dengan gemilang menyingkirkan rezim Soeharto, tidak
menghasilkan tokoh politik nasional?
padahal pemudalah yang memberikan kepemimpinan
dan energi dalam setiap perubahan
penting disepanjang sejarah
Indonesia serta tampil menjadi
tokoh politik nasional. Mengapa sekarang tidak?.
Pertanyaan
tersebut mencoba mencari apa yang terjadi sebenarnya dalam
gerakan mahasiswa atau pemuda ini di era reformasi. Para mahasiswa bersama
rakyat yang telah berhasil melengserkan Soeharto setelah 32 tahun memimpin pada
mei 1998, tidak mampu turut menyingkirkan orang-orang dalam lingkaran orba.
Mereka tidak menghasilkan tokoh populis yang menuntun agenda besar revolusi
nasional bersama rakyat. Akibatnya gerakan mobilisasi massa yang begitu besar,
yang telah dibangun lama dibajak oleh tokoh konservatif yang masih dalam
enclave orba seperti Amien Rais, Gus Dur dan Megawati pada detik-detik
terakhir. Sehingga agenda reformasi tak mampu mendorong perubahan besar, karena
kroni-kroni orba masih tetap bergentayangan di pusat-pusat pengambilan
keputusan.
Setelah hampir 17 tahun masa reformasi, banyak
sekali kegundahan rakyat terhadap aktivisme gerakan Mahasiswa. Mitos mahasiswa
sebagai agent of change menjauh dari realita yang ada. Para mahasiswa lebih
senang dan bangga jadi juru keplok (tepuk tangan) di acara-acara TV atau duduk
manis di pusat perbelanjaan atau di tempat nongkong modern yang begitu gemerlap
dan jauh dari kesulitan hidup rakyat kecil. Di sana mereka dapat leluasa
berbicara tentang artis idola, film populer serta trend atau mode pakaian
terbaru, dan tak lupa mencibir setiap kali ada demo yang memacetkan jalan atau
tak terima ketika upah buruh naik yang membuat para buruh dapat hidup layak.
Di sisi yang lain gerakan mahasiswa dalam organisasi
kemahasiswaan cenderung tersandera dengan isu-isu elit yang menyetir media
massa nasional. Mereka seringkali terjebak pada romantisme masa lalu, seperti
seorang ABG yang ditinggal kekasihnya kemudian gagal move-on. Prestasi bagi
mereka adalah ketika berhasil membuat event besar dengan mendatangkan artis
papan atas. Kalau begitu apa bedanya mahasiswa dengan event organizer (EO)?
Coba hitung berapa banyak organisasi mahasiswa yang tetap berada di rel awalnya
untuk mengasah para intelektual muda yang mampu memperjuangkan kehidupan rakyat
dan mengkritisi penguasa?
Problematika tersebut bukanlah sesuatu yang jatuh
dari langit (ahistoris). Tetapi tak dapat dilepaskan pada akar sejarah. Banyak
pengamat menganggap hal ini adalah buah dari neoliberalisme yang menyebabkan
terjadinya komersialisasi pendidikan atau analisa budaya yang melihat karena
pengaruh habitus. Namun analisa tersebut mengandaikan mahasiswa sebagai makhluk
yang tak bergerak yang dapat disetir kesana kemari. Padahal mahasiswa adalah
manusia yang berfikir, berhasrat dan bergerak (hidup). Itu adalah faktor
eksternal sedangkan faktor internal adalah tentang dinamika gerakan di tubuh
organisasi mahasiswa ini. Analisa yang lebih genit lagi adalah ketika
menganggap hal tersebut adalah faktor moralitas, yang solusinya adalah
penanaman nilai agama atau ceramah motivasi surgawi.
Sejarah Gerakan Mahasiswa Dari Masa ke Masa
Sejarah pergerakan Indonesia tak bisa dilepaskan
pada masa perkembangan 1912-1926 atau yang menurut Takashi Shiraishi adalah
peristiwa ‘Zaman Bergerak’. Peran para intelektual muda yang membawa gagasan
baru dalam dunia pergerakan mengalir deras dalam kesadaran politik rakyat.
Zaman pergerakan di Indonesia pada masa itu mulai menampilkan kesadaran politik
baru dalam bentuk yang modern dan akrab dengan kita saat ini, seperti surat
kabar, rapat, pemogokan, serikat, partai dan ideologi. Hal tersebut tidak
mungkin dapat ditemui dari masa sebelumnya dimana gerakan lebih bersifat
mesianistik atau yang dipimpin para feodal dengan cara tradisional.
Kesadaran politik rakyat terbentuk tidak hanya
melalui interaksi sosial, namun melalui aktivitas sosial dan aktivitas politik
terorganisasi dengan cita-cita untuk merdeka. Mobilisasi massa secara besar
telah menciptakan radikalisasi dalam gerakan. Rakyat mulai aktif melakukan
berbagai aksi pemogokan dan tuntutan. Gagasan Marxisme atau sosialisme ilmiah
yang dibawa oleh Henk Sneevliet serta Tan Malaka menjadi pijakan penting dalam
gerakan. Ketika gerakan kiri diberangus pada penghujung 1926, kekosongan tonggak
gerakan diambil alih oleh kelompok intelektual muda nasionalis kiri radikal
yang telah terbentuk kesadaran politiknya pada 1920an, seperti Soekarno dengan
PNI dan gagasan Marhenismenya.
Datangnya Jepang hingga kemerdekaan pada 1945 tak
bisa dipisahkan dari kekuatan gerakan rakyat ini. Mereka melakukan perang
gerilya, mogok, vergadering, aksi massa, berorganisasi, rapat akbar dan
berpartai untuk menuntaskan proses revolusi nasional yang anti neo-kolonialisme
dan anti neo-imperialisme. Para mahasiswa, pemuda bersama rakyat berupaya
menghabisi sisa-sisa kolonialisme dan feodalisme dengan tuntutan nasionalisasi,
land reform dan berdikari.
Namun pada 1965-1967, terjadi penghancuran gerakan
revolusi nasional yang hampir 60 tahun telah terbangun. Pelakunya adalah rezim
Orde Baru (orba). Gerakan mahasiswa pada 1965 yang dipelopori oleh KAMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang dibentuk atas anjuran Mayor Jendral
Syarif Thayib, Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan pada 25 Oktober
1965, adalah gerakan yang berselingkuh dengan Angkatan Darat dalam mendirikan
orba. Setelah orba tegap memimpin, para pemimpin KAMI banyak yang masuk dalam
pemerintahan sebagai timbal jasa. Tentu ada yang tak terserap dan bergerak di
luar.
Gerakan mahasiswa pada tahun 1970an, terjebak pada
kerangka gerakan moral. Seperti tokoh dalam gerakan tersebut Arief Budiman,
yang menyerukan gerakan Golput atau Golongan Putih terhadap Pemilu yang tak
adil. Gerakan mahasiswa pada masa ini hanya bergulat dengan teori, membuat
sikap pernyataan dan menegur penguasa tanpa pernah melakukan gerakan mobilisasi
massa serta bergabung dengan massa rakyat yang dihisap oleh rezim orba.
Kebijakan ‘massa mengambang’ yang digagas oleh Ali
Moertopo telah membuat rakyat buta politik. Keadaan tersebut membuat masyarakat
yang marah terhadap penguasa tak dapat menyalurkan amarahnya dalam gerakan
politik yang terorganisasi, sehingga yang terjadi adalah kerusuhan. Hingga
terjadi peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang dilakukan generasi
mahasiswa 1973-74. Akibat proses tersebut rezim Soeharto mengambil tindakan
normalisasi kehidupan kampus (NKK) dalam kehidupan politik. Karena kampus
selama periode tersebut menjadi pusat mobilisasi mahasiswa dan pusat kritik
terhadap penguasa.
Gerakan mahasiswa pada era akhir 1980an sampai 1998
mulai belajar dari kekalahan atau kesalahan gerakan sebelumnya paska 1965,
yaitu karena terpisah dari kekuatan rakyat dan mereka tak memiliki basis massa
yang kuat dan luas (analisa Danial Indrakusuma, aktivis mahasiswa & tokoh pendiri
PRD). Belajar dari gerakan mahasiswa di Filipina pada 1980an yang berhasil
menggulingkan diktator Marcos dengan strategi ‘Live-in’ (hidup dan berjuang
bersama rakyat), maka gerakan mahasiswa pada masa itu melakukan strategi yang
sama. PRD yang terbentuk pada 1994 (diinisasi oleh mahasiswa, aktivis, buruh,
petani dan lainnya) memainkan peran penting dalam kembali menjalankan politik
mobilisasi massa dengan cara Live-in di kawasan perburuhan, kawasan pinggiran
kota, dan di tengah konflik agraria. Hingga akhirnya rezim Soeharto menyatakan
PRD sebagai partai terlarang dengan menangkap para aktivisnya. Hal tersebut
membuat PRD melakukan gerakan bawah tanah dengan membawa bendera berbeda yang
mampu mendorong lengsernya Soeharto pada Mei 1998 setelah 32 tahun memimpin.
Seperti yang ditanyakan oleh Pram, gerakan mahasiswa
atau pemuda yang berhasil menggulingkan Soeharto tersebut ternyata tidak
menghasilkan tokoh politik nasional pada periode era reformasi. Bahkan sampai
sekarang, tokoh nasional hanya diisi oleh orang-orang dari enclave orba. Pada
1999 ada Amin Rais, Megawati dan Gus Dur, sedangkan sampai sekarang hanya diisi
oleh SBY, Jusuf Kalla, dan Prabowo. Jokowi memang tidak termasuk enclave
peninggalan orba, namun ia tak terlahir dari proses gerakan dan tak memiliki
gagasan besar tentang ke-Indonesiaan.
PRD sebagai pelopor gerakan melengserkan Soeharto
dalam pemilu 1999, juga tidak dapat berbicara banyak. Jargon mereka “Pilih PRD
atau Boikot Pemilu bersama Rakyat” menunjukan adanya kebimbangan dan perpecahan
di internal partai tersebut dalam terjun dalam ajang kontestasi politik.
Perpecahan terjadi karena ada dua arus pemikiran berbeda, apakah mereka akan
bergerak di luar sistem dengan politik ekstra-parlementer atau bergerak di
dalam. Sebelumnya mereka dikhianati oleh 4 tokoh reformis yaitu Megawati,
Abdurahman Wahid, Amin Rais dan Sultan Hamengkubuwono X melalui pertemuan
Ciganjur, yang kemudian menghentikan sebagian besar kekuatan mobilisasi massa
yang memiliki potensi besar membawa roda pemerintahan kembali menapaki semangat
revolusi nasional.
Hingga saat ini, PRD telah mengalami masa degenerasi
dan deidiologisasi, karena aktivis-aktivis yang bergerak di dalamnya selama
periode 1994-2000an telah banyak yang keluar. Garis politik PRD dari gagasan
sosialisme demokrasi kerakyatan, sekarang cenderung mengarah ke Soekarnoisme.
PRD pun pada akhirnya kehilangan pengaruhnya pada basis massa rakyat. Keadaan
tersebut dipengaruhi oleh hilangnya musuh bersama yaitu Soeharto pada era orba.
Setelah Soeharto sukses dijatuhkan, bayangan akan musuh bersama menjadi samar.
Ketiadaan musuh bersama membuat mereka kehilangan dukungan dari rakyat.
Selain itu faktor yang penting sebagaimana
kesimpulan dari Pram dalam menjawab pertanyaan di awal adalah bahwa: “Kita
secara nasional dilahirkan oleh revolusi nasional dan berhasil menghalau
Imperialisme… disusul perjuangan menuntaskan revolusi: sekarang itu sudah padam
samasekali. Kesimpulan saya: karena perkembangan orba menyalahi sejarah sebagai
titik awal tempat bertolak sehingga kehilangan arah tak tau tujuan, alias
ngawur”.
Pembantaian masal pada organ gerakan kiri,
penghancuran terhadap gagasan revolusioner dan pemberangusan mobilisasi rakyat
untuk menuntaskan revolusi nasional selama masa orba, telah membuat rakyat
menjadi buta politik. Kekosongan gagasan revolusioner telah mencuatkan gagasan
konservatif. Setelah jatuhnya Soeharto, rakyat yang dibuat menjadi masa
mengambang, banyak yang tak mengetahui kemana mereka harus menyandarkan pilihan
politiknya. PRD tidak mampu melakukan kampanye masif di berbagai media massa
umum, sementara koran yang dibuatnya tidak mampu menyentuh segala lini
masyarakat.
Akibatnya rakyat yang tengah berada pada masa krisis
menyandarkan pilihan politiknya pada tokoh-tokoh reformis yang mendapat banyak
sorotan oleh media massa. Hilangnya budaya berserikat, berpartai, rapat akbar,
aksi, mogok dan bersuara telah menjadi salah satu penyebab kegagalan era
reformasi ini. Kekosongan politik kiri, membuat para pemuda pengangguran,
pemuda di pinggiran kota, pemuda desa yang tereksklusi dari dunia pertanian dan
begitu pula para mahasiswa pada akhirnya menjatuhkan pilihan politiknya pada
gagasan politik relijius konservatif atau relijius fundamentalis radikal. Para
pemuda tersebutlah yang sekarang menjadi basis masa dari organisasi semacam FPI
(Front Pembela Islam).
Apa Yang Harus Dilakukan?
Kini kita dihadapkan pada hasil dari proses
penghancuran atau kontra-revolusi gerakan politik rakyat oleh rezim orba.
Konsep “massa mengambang” yang diterapkan oleh rezim orba telah membuat
mahasiswa begitupula rakyat kebanyakan, terjerat dalam kesadaran palsu mereka
dan imajinasi ketakutan terhadap perjuangan politik. Artinya gerakan mahasiswa
ke depan harus mampu menghubungkan dan membangun kembali atau melampaui
perjuangan politik rakyat yang terbentuk pada 1912-1965.
Gerakan mahasiswa juga harus belajar dari perjuangan
gerakan mahasiswa pada masa sebelumnya. Mereka harus bersikap tegas dengan
berbagai kajian dan tidak hanya riuh dengan selebrasi politik. Tidak hanya
bergerak dalam dunia maya seperti dengan gerakan petisi online, akan tetapi
bergerak dalam aksi nyata. Mahasiswa di Chile berhasil mendorong kebijakan
kuliah gratis yang dibiayai dari pajak korporasi, karena mereka turun ke
jalan-jalan untuk aksi massa dengan tuntutan-tuntutan yang menekan penguasa
sejak tahun 2006 melalui apa yang dinamai Penguin Revolution.
Artinya, gerakan mahasiswa selain berkutat dengan
teori, mereka harus turun ke massa rakyat melalui strategi live-in dengan
melakukan aktivitas sosial-politik demi menciptakan kesadaran politik pada
massa dan keyakinan atas kekuatannya. Melakukan berbagai kajian dan membentuk
media propaganda seperti Koran menjadi penting untuk memperkuat argumen dan
memperluas kesadaran massa. Kebijakan pemerintah yang masih terjerat dalam
politik neoliberal, membuat terus terjadinya berbagai konflik yang melibatkan
rakyat dengan pemerintah atau swasta serta dengan keduanya. Di sana mereka
dapat turut membantu perjuangan rakyat dengan membentuk blok historis. Dan hal
utama adalah untuk menghidupkan kembali “perjuangan menyelesaikan revolusi
nasional Indonesia”.
mengenang Mas Pram
Reviewed by sajakdarilangit
on
00.32
Rating:
Post a Comment